Selasa, 25 Januari 2011

Benteng Victoria

Julukan manise yang melekat pada nama Kota Ambon, Sejarah keberadaan kota yang berada di bibir Teluk Ambon ini memang cukup panjang dan banyak menyimpan segudang cerita pilu. Kini kota Ambon telah berusia 433 tahun, tepatnya 7 September 2008 lalu.

Di usia yang senja itu, kota tua yang memiliki luas wilayah 377 km² dan berpenduduk sebanyak 206.210 jiwa (2000) ini telah menapaki jalan yang cukup berliku. Bermula ketika menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa yakni Portugis, Inggris dan Belanda. Hingga pada akhir abad ke-20, tepatnya 19 Januari 1999, tragedi kemanusiaan melanda kota ini saat masyarakatnya dari komunitas berbeda angkat senjata, berperang atas nama agama. Korban berjatuhan, harta benda pun lenyap.

Di tengah-tengah kebangkitan dari keterpurukan setelah diterpa konflik sekitar empat tahun lamanya, Ambon semakin menunjukkan situasi kondusif. Meskipun pemukiman masyarakat terpisah berdasarkan komunitas agama, namun saat ini hubungan sosial sudah berjalan normal.

Dari catatan sejarahnya, Ambon pada masa lampau merupakan kota kolonial karena diciptakan kaum pendatang dari Barat. Sebuah cerita tua (folktales), seperti dicatat Asisten Residen van Wijk dalam 'Laporan Serah Terima Jabatan, 1937', bertutur; seorang panglima Portugis tiba di pantai Honipopu, termasuk petuanan (wilayah kekuasaan) Negeri (desa) Soya.

Ketika dipertemukan dengan Raja Soya, sang panglima mengajukan permintaan agar diizinkan memiliki sebidang tanah yang luasnya tidak lebih dari selembar ‘kulit sapi’. Dianggap tidak memberatkan, permintaan itu lantas dikabulkan oleh Raja Soya.

Sang panglima mengambil selembar kulit sapi yang masih utuh, lalu menjadikannya potongan kecil. Kemudian ia menyebarkan potongan kulit sapi itu hingga menutupi sebidang tanah yang mencakup pantai Honipopu hingga ke kaki perbukitan Soya. Batas sebelah barat adalah sungai Wai Batugajah dan batas sebelah timur adalah sungai Wai Tomu.

Di dataran rendah yang cukup luas itulah Portugis mendirikan sebuah benteng, lengkap dengan sebuah kota di bagian selatannya. Cerita itu diwarisi sebagai cerita tua mengenai terbentuknya Kota Ambon.

Artinya, kota Ambon pada awal terbentuknya hanyalah daerah sekitar benteng, di sekitar pantai Honipopu. Portugis sendiri lebih suka menyebutnya ‘Gidado/Cidades de Ambyono’ yang artinya ‘Kota di Pulau Amboina’.

Pesan dari cerita terbentuknya Kota Ambon ini tentu mudah dipahami. Orang Barat begitu cerdik, sedangkan anak negeri begitu bodoh. Atau dalam konteks kolonialisme, orang Barat lebih berkuasa dari penduduk negeri.

Kisah semacam ini pernah tersebar luas di Nusantara pada masa pra-modern. Selain dikaitkan dengan lahirnya benteng Portugis di Ambon pada tahun 1575, sebuah hikayat di Aceh pun menggambarkan peristiwa hampir serupa, yakni tentang pertemuan seorang panglima Portugis yang meminta sebidang tanah dari Sultan Aceh.

Menurut catatan orang-orang Portugis pada abad ke-16, batu pertama dari benteng di pantai Honipopu diletakkan seorang panglima armada Portugis, Sancho de Vasconselos, pada 23 Maret 1575.

Dalam waktu tiga bulan, tembok benteng dan menara-menaranya telah dibangun lengkap dengan sejumlah rumah di dalamnya. Mengingat dalam keadaan perang, sebelum benteng rampung sekitar bulan Juni-Juli tahun 1575, de Vasconselos memerintahkan pasukannya menempati benteng dan diberi nama ‘Nossa Senhora da Anunciada’.

Nama itu berkaitan dengan saat peletakan batu pertama bertepatan dengan “Pesta Anunsiasi”, yang dalam tradisi Katholik tanggal 23 Maret, Bunda Maria diberi kabar oleh malaikat Tuhan bahwa dia akan mengandung dari Roh Kudus.

Tetapi menurut saksi mata dari abad 17 dan 18, George Everardus Rumphius, Francois Valentijn dalam bukunya ‘Oud en Nieuw Oost-indien’ maupun Imam Rijali dalam ‘Hikayat Tanah Hitu’, bahwa di kalangan penduduk Pulau Ambon, benteng tersebut lebih dikenal dengan sebutan ‘Kota Laha’, yang berarti benteng (kota) di teluk (laha).

Ambon sejak didirikan Portugis sampai dengan abad ke-20 masih berkisar pada daerah-daerah di sekitar benteng. Dalam perjalanan sejarah Kota Ambon, benteng ini kemudian dikuasai Belanda. Portugis ketika itu harus meninggalkan benteng dan bergeser ke Leitimor di selatan Pulau Ambon.

Dari catatan sejarah yang ada, disebutkan Casper de Melo, komandan pasukan Portugis (capitao) menyerah kepada Belanda di bawah komando Steven der Haghen, 23 Februari 1602. Benteng Portugis itu kemudian diganti namanya menjadi Benteng Victoria, artinya kemenangan, sebagai peringatan kemenangan Belanda atas Portugis ketika itu.

Kota Laha menjadi satu dari dua benteng di Asia yang berhasil direbut Belanda dari Portugis, selain benteng Malaka yang direbut pada 1648. Benteng ini juga sempat jatuh ke dalam kekuasaan Inggris (East India Company) antara tahun 1794-1816. Namun berhasil direbut kembali oleh Belanda.

Dari catatan sejarah, benteng ini sempat mengalami kerusakan berat saat Ambon diguncang gempa dasyat pada 1754 sehingga menimbulkan kerusakan sangat parah. Karena kesulitan keuangan, renovasi benteng baru selesai akhir tahun 1780-an. Karena perbaikan dan perubahannya sangat banyak, maka sejak itu benteng yang merupakan cikal bakal Kota Ambon ini dinamakan Nieuw Victroria, yang artinya kemenangan baru.

Terlepas dari sejarah panjang kota ini dari sebuah benteng, Ambon sendiri merupakan kota migran karena di dalamnya terdapat banyak orang yang berasal dari suku bangsa berbeda. Mulai dari warga keturunan Eropa, Arab, Pesia, China, Malayu, hingga orang lokal menjadi warga Ambon.

Ini juga menjadikan Ambon sangat plural, baik budaya maupun agamanya.Saat terbentuk hingga sekarang, Ambon telah berkembang budaya Mestizo. Karena secara faktual bisa dilihat berbagai bangsa tergambar dari nama-nama Marga, misalnya ada marga yang kalau dilihat dari Eropa, Arab dan China seperti de Fretes, Diaz, Gazpers, de Quelju, de Lima, Tan, Kiat, Ciat, Basalamah, Alkatiri, Attamimi, Al-Idrus, Bahasoan dan sebagainya.

Perbedaan-perbedaan karena budaya, agama yang sudah bercampur itu kemudian lahir kebudayaan Mestizo. Campuran antara barat dengan timur. Islam dengan Kristen atau Melayu dengan Eropa. Inilah yang melahirkan suatu kebudayaan yang bukan saja universal, tetapi juga sangat plural.

Selain itu, juga dari etnik Nasional seperti ada marga seperti Makassar, Tjirebon, Banten, Palembang dan Semarang. Ini bisa membuktikan dari mana mereka berasal atau asal-usul keturunannya.

Mereka datang membawa kebudayaan yang beraneka ragam, berbeda dengan kebudayaan setempat. Misalnya kalau dia berasal dari Jawa maka datang membawa kebudayaan Jawa seperti di beberapa tempat memiliki nama yang ada hubungannya dengan daerah-daerah di luar Maluku, misalnya ada Kota Jawa dan Pantai Cirebon.

Sejak tahun 1575 memang telah ada kelompok-kelompok masyarakat yang berdiam di sekitar benteng yang kemudian dikenal dengan nama Soa Ema, Soa Kilang, Soa Silale, Hative, Urimesing dan sebagainya. Kelompok masyarakat inilah yang menjadi dasar bagi pembentukan Kota Ambon. Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat tersebut sudah menjadi masyarakat genekologis teritorial yang teratur.

Terlepas dari sejarah panjang terbentuknya Kota Ambon, untuk menetapkan hari jadi secara resmi pada tanggal 11-12 November 1972, diadakan seminar sejarah kota Ambon oleh Universitas Pattimura, yang kemudian menetapkan tanggal 7 September 1575 sebagai hari lahirnya kota Ambon. Setahun kemudian, pada 7 September 1973 pertama kalinya hari jadi kota Ambon diperingati. Ambon hingga sekarang ini sudah dipimpin oleh 14 walikota.
Sumber Artikel : Syarafudin Pattisahusiwa



Pantai Namalatu Sebagai Objek Wisata

Ambon, Maluku - Kadis Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Provinsi Maluku, Dra. Florance Sahusilawane, mengatakan, objek wisata Pantai Namalatu di Desa Latuhalat, Kecamatan Nusaniwe, sangat cocok untuk dikembangkan sebagai lokasi penyelaman. "Kondisi laut dan panorama bawah lautnya sangat mendukung untuk menjadi lokasi penyelaman, apalagi ditunjang dengan batu karang yang memanjang seperti papan yang menutupi pinggiran pantai," katanya di Ambon, Maluku, Senin (6/7).
Belum lagi, katanya, kondisi ombak yang tergolong besar di pantai itu, sangat cocok untuk olahraga berselancar, di samping daerah kawasan pantai juga dipenuhi dengan taman laut yang indah sehingga sangat disukai wisatawan mancanegara. "Kami pun mulai menata penginapan yang ada di lokasi objek wisata ini, penyediaan peralatan selam, di samping menyediakan pemandunya, sehingga layak sebagai objek wisata selam di Pulau Ambon," katanya.
Di Pulau Ambon sebenarnya terdapat 12 hingga 15 titik spot yang cocok untuk dikembangkan menjadi objek wisata selam, di antaranya pandai Desa Hukurila, Kecamatan Leitimur Selatan dan kawasan Tanjung Setan, Kabupaten Seram bagian Barat (SBB), di mana jika dikembangkan akan menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara.
"Semua potensi akan dikembangkan secara bertahap termasuk meningkatkan promosi ke luar sehingga mampu menarik dan meningkatkan arus kunjungan wisatawan dalam maupun luar negeri ke Maluku," ujar dia. Disbudpar Maluku pun akan mengintensifkan kerjasama dengan para pengusaha yang bergerak di bidang pariwisata untuk menggiatkan berbagai `event` di bidang pariwisata, termasuk meningkatkan promosi, sehingga potensi besar pariwisata bahari yang dimiliki Maluku semakin dikenal luas. Sahusilawane mengakui, pengembangan sektor pariwisata selama ini belum difokuskan untuk pengembangan potensi spesifik yang ada di masing-masing kabupaten/kota.
"Kota Ambon misalnya selain objek wisata bahari pantai yang semakin terkenal, bisa juga dikembangkan potensi wisata kulinernya. Begitu pun, Maluku Tenggara dan Maluku Tenggara Barat (MTB) pengembangannya bisa difokuskan untuk wisata budaya, sehingga mudah dipahami dan dikenal wisatawan lokal maupun mancanegara," ujarnya. Ditambahkannya, pihaknya pun sedang memfokuskan pengembangan Pulau Banda, Kabupaten Maluku Tengah dan Kepulauan Lucipara sebagai lokasi wisata andalan Maluku di masa mendatang, termasuk menggelar event pariwisata berskala nasional dan internasional di kawasan ini. (OL-03
Sumber: http://www.mediaindonesia.com


Selasa, 18 Januari 2011

Pintu Kota : Gerbang menuju Laut Banda

Indonesia bagian timur seringkali luput dari perhatian wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Padahal wilayah ini memiliki objek wisata yang tidak kalah menarik dibandingkan dengan daerah lainnya seperti Bali. Salah satunya adalah objek wisata Pintu Kota di Ambon, Maluku.

Pintu kota merupakan salah satu lokasi obyek wisata alam yang memiliki daya tarik tersendiri bagi para pelancong dan pesiar yang ingin menikmati keindahan alam dan laut. Lokasi wisata ini terletak di Desa Air Louw dan berbatasan langsung dengan Desa Seri,Kecamatan Nusaniwe, Ambon.

Batu-batu besar dengan tebing karang yang terjal menghiasi tempat yang sangat ramai dikunjungi terutama pada hari libur ini. Lokasi wisata ini memberikan nuansa alam yang sangat indah dengan langsung berhadapan dengan pemandangan Laut Banda, laut yang terdalam di Indonesia.

Ketika memasuki daerah wisata ini, pengunjung akan disambut dengan lambaian nyiur yang banyak terdapat di lokasi itu. Suasana sejuk dan asri juga akan menyambut kedatangan pengunjung yang ingin menikmati suasana alam di sana.

Yang disebut dengan Pintu Kota ini berupa batuan karang besar yang terletak di pesisir pantai dengan bagian tengahnya kosong seperti pintu dan berhadapan langsung dengan Laut Banda yang luas. Lokasi yang didominasi dengan batuan karang ini, pada bagian sisinya dapat juga dipergunakan sebagai lokasi berenang.

Pada musim penghujan seperti ini, pemandangan laut yang indah dengan derunya hempasan gelombang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung, terutama yang memiliki jiwa petualang. Sehingga terasa belum lengkap bila mengunjungi daerah sekitar semenanjung Nusaniwe ini tanpa singgah menyaksikan keindahan Pintu Kota.

Untuk mencapai lokasi ini, dapat dilakukan dengan menggunakan transportasi umum atau pribadi. Bila menggunakan transportasi umum, pengunjung dapat menumpang angkutan umum jurusan Air Louw dengan biaya sebesar Rp 3.000 sekali perjalanan. Dengan menggunakan transportasi umum ini pengunjung dapat turun langsung di depan pintu masuk menuju lokasi wisata ini.

Namun bila menggunakan transportasi pribadi, baik kendaraan roda dua maupun roda empat maka pengunjung dapat langsung masuk ke lokasi wisata ini, karena fasilitas jalan cukup memadai. Pengunjung yang datang ke lokasi ini dipugut biaya masuk sebesar Rp1.000 per orang.

Sementara bagi kendaraan untuk roda dua sebesar Rp3.000 sedangkan roda empat Rp5.000. Selanjutnya pengunjung dapat menikmati perjalanan wisata ini, baik melihat pemandangan Laut Banda yang indah hingga menaiki batu karang besar yang disebut Pintu Kota.

Shelter lokasi wisata Pintu Kota menyediakan tempat-tempat berteduh (shelter) yang khusus dibangun bagi pengunjung yang datang ke lokasi. Sedikitnya ada delapan unit shelter yang dibangun di tempat ini. Shelter-shelter ini dibangun secara swadaya oleh unit-unit dari sektor di Jemaat GPM Bethesda Air Louw yang mengelola lokasi wisata itu. Shelter yang dibangun ini berlokasi pada dataran atas perbukitan, sehingga sangat strategis bagi para pengunjung yang duduk santai sambil menikmati indahnya Lautan Banda.

Pengunjung yang datang ke lokasi wisata ini dapat menikmati makanan ringan yang juga jajanan yang dijajakan oleh masyarakat sekitar, rujak dan gorengan merupakan makanan andalan yang disediakan guna memenuhi kebutuhan pengunjung dan dapat diperoleh dengan harga terjangkau.

Selain itu, bagi pengunjung yang ingin melaksanakan suatu kegiatan atau acara dapat memesan makanan, khususnya berupa ikan laut beberapa hari sebelum kegiatan sehingga dapat disediakan sebelumnya.

Bagi pengunjung yang datang ke lokasi Pintu Kota dengan menggunakan kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat, tidak perlu khawatir akan memarkir kendaraannya. Karena lokasi ini menyediakan areal parkir yang cukup luas dan cukup untuk menampung kendaraan dalam jumlah banyak.

Senin, 17 Januari 2011

Morea Waai

Morea dari Waai, begitulah masyarakat Kota Ambon sering menyebutkannya, serasa kurang lengkap ketika mengunjungi negeri yang terletak di Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah ini, sebelum melihat hewan sejenis belut ini. Desa Waai yang terletak disekitar 30 km dari pusat Kota Ambon, ternyata menyimpan potensi alam yang dapat dikembangkan sebagai objek kunjungan wisata, selain keindahan bahari dan suasana pegunungan Salahutu, desa ini memiliki satu aset tradisional dan keunikan yang menarik untuk dikunjungi.

Kolam Wae Selaka, nama tempat tersebut, kolam ini memiliki air yang sangat jernih dan berada pada lereng perbukitan serta memiliki udara yang sangat sejuk dan segar sepanjang hari.
Suasana ini didukung dengan tumbuhnya pohon-pohon yang rindang dan lebat serta tanaman lainnya sehingga terasa sangat asri dilokasi ini. Di kolam Wae Selaka ini, hidup berbagai jenis ikan yang terus dipelihara oleh masyarakat setempat.

Selain itu, yang paling menarik dan dikenal yakni hidupnya puluhan bahkan ratusan ekor morea, hewan sejenis belut yang jinak dan dapat dikendalikan oleh pawangnya. Morea-morea ini hidup dalam goa-goa yang terdapat di sekitar kolam tersebut, mereka akan keluar ketika dipanggil oleh pawangnya. Tidak tanggung-tanggung, morea-morea ini memiliki ukuran hingga sebesar paha orang dewasa dengan panjang lebih satu meter, daya tarik pengunjung ketika datang ketempat ini hanya ingin menyaksikan bagaimana sang pawang memanggil keluar morea-morea ini dan memberi makan mereka dengan telur ayam.

Pengunjung juga diberi kesempatan untuk dapat memegang hewan yang terkenal licin ini, bahkan mengelus dan memberikannya makan. Dijamin, hewan ini tidak akan menggigit atau melukai para pengunjung yang berkeinginan untuk memegangnya, karena hewan ini adalah jinak.

Sumber : http://www.indonesia.go.id

Pantai Hukurila

Desa Hukurila yang terletak sekitar 15 km kearah selatan dari pusat Kota Ambon, ternyata memliki obyek wisata bahari yang sangat indah. Ada dua lokasi wisata pantai (bahari) yang dapat menjadi tempat tujuan bagi warga kota yang hendak menikmati pemandangan alam atau berenang ketika mengisi waktu liburnya.

Kedua lokasi pantai tersebut bernama Tihulessy dan Waelaring. Pantai Tihulessy berada tepat sekitar wilayah pemukiman desa tersebut, sedangkan pantai Waelaring berada sekitar satu kilometer dari pusat desa. Namun keduanya masih berdekatan dan memiliki panorama tersendiri yang indah dan dapat dinikmati oleh para pengunjung. Apalagi kedua lokasi pantai ini berhadapan langsung dengan pandangan luas Laut Banda yang terkenal sebagai laut terdalam di Indonesia.


Keindahan alam kedua pantai yang belum terkontaminasi dengan pencemaran ini memungkinkan pengunjung untuk dapat menikmatinya. Baik untuk berenang, kegiatan piknik bersama keluarga hingga pemancingan. Disaat-saat liburan, kedua pantai ini banyak dikunjungi warga terutama yang berasal dari Kota Ambon.


Lokasi wisata pantai Tihulessy dan pantai Waelaring merupakan lokasi wisata yang sangat tepat bagi pengunjung yang ingin mendapatkan ketenangan dengan melihat pemandangan alam yang indah. Juga bagi mereka yang memiliki jiwa petualang ataupun memiliki hobi memancing dapat menyalurkannya disini. Warga setempat juga menyediakan berbagai kebutuhan terutama bagi pengunjung yang ingin memancing.


Sumber : http://www.indonesia.go.id

Pantai Natsepa

Pantai Natsepa yang terletak di Desa Suli Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah, merupakan lokasi wisata yang sangat dikenal di Kota Ambon. Pantai yang terletak sekitar 18 KM dari pusat Kota Ambon tersebut sering menjadi pilihan warga Kota yang ingin menikmati hari liburnya.

Pantai ini landai, lebar dan sangat terkenal sejak dulu, dengan pasir putihnya yang halus. Untuk mencapai pantai ini dapat dilakukan dengan menggunakan kendaraan baik roda dua maupun roda empat, atau angkutan umum trayek suli, memasukki daerah wisata ini, pengunjung akan disuguhkan dengan pemandangan diluar pantai dengan deretan penjual-penjual rujak maupun makanan lainnya.



Rujak Natsepa atau Rujak Suli sudah sangat terkenal bagi masyrakat Kota Ambon, penganan yang dijual dengan harga Rp. 5.000 satu porsi ini, sangat asyik dinikmati sambil menikmati.
Objek Wisata ini menyediakan berbagai fasilitas yang dapat dinikmati oleh para pengunjung antara lain beberapa shelter yang dapat digunakan sambil menikmati indahnya pantai dan pemandangan Teluk Baguala. Tarif masuk ke lokasi wisata ini, untuk orang dewasa dipungut biaya sebesar Rp. 1.000,- kendaraan roda dua Rp. 1.000,- dan kendaraan roda empat Rp. 2.000,-. Menikamti hari libur di pantai yang sangat indah ini, para pengunjung juga dapat menikmati berbagai pertunjukkan yang diberikan pengelola, pertunjukkan itu antara lain atraksi bambu gila, ataupun permain lainnya.


Sasi Lompa Di Negeri Haruku

Oleh: Elisa Kissya

Di antara semua jenis dan bentuk sasi di Haruku, yang paling menarik dan paling unik atau khas desa ini adalah sasi ikan lompa (Trisina baelama; sejenis ikan sardin kecil).
Jenis sasi ini dikatakan khas Haruku, karena memang tidak terdapat di tempat lain di seluruh Maluku. Lebih unik lagi karena sasi ini sekaligus merupakan perpaduan antara sasi laut dengan sasi kali. Hal ini disebabkan karena keunikan ikan lompa itu sendiri yang, mirip perangai ikan salmon yang dikenal luas di Eropa dan Amerika, dapat hidup baik di air laut maupun di air kali. Setiap hari, dari pukul 04.00 dinihari sampai pukul 18.30 petang, ikan ini tetap tinggal di dalam kali Learisa Kayeli sejauh kuranglebih 1500 meter dari muara. Pada malam hari barulah ikan-ikan ini ke luar ke laut lepas untuk mencari makan dan kembali lagi ke dalam kali pada subuh hari. Yang menakjubkan adalah bahwa kali Learisa Kayeli yang menjadi tempat hidup dan istirahat mereka sepanjang siang hari, menurut penelitian Fakultas Perikanan Universitas Pattimura, Ambon, ternyata sangat miskin unsur-unsur plankton sebagai makanan utama ikan-ikan. Walhasil, tetap menjadi pertanyaan sampai sekarang: dimana sebenarnya ikan lompa ini bertelur untuk melahirkan generasi baru mereka?
  • Legenda Ikan Lompa
Menurut tuturan cerita rakyat Haruku, konon, dahulu kala di kali Learisa Kayeli terdapat seekor buaya betina. Karena hanya seekor buaya yang mendiami kali tersebut, buaya itu dijuluki oleh penduduk sebagai "Raja Learisa Kayeli".
Buaya ini sangat akrab dengan warga negeri Haruku. Dahulu, belum ada jembatan di kali Learisa Kayeli, sehingga bila air pasang, penduduk Haruku harus berenang menyeberangi kali itu jika hendak ke hutan. Buaya tadi sering membantu mereka dengan cara menyediakan punggungnya ditumpangi oleh penduduk Haruku menyeberang kali. Sebagai imbalan, biasanya para warga negeri menyediakan cincin yang terbuat dari ijuk dan dipasang pada jari-jari buaya itu.
Pada zaman datuk-datuk dahulu, mereka percaya pada kekuatan serba-gaib yang sering membantu mereka. Mereka juga percaya bahwa binatang dapat berbicara dengan manusia. Pada suatu saat, terjadilah perkelahian antara buaya-buaya di pulau Seram dengan seekor ular besar di Tanjung Sial. Dalam perkelahian tersebut, buaya-buaya Seram itu selalu terkalahkan dan dibunuh oleh ular besar tadi. Dalam keadaan terdesak, buaya-buaya itu datang menjemput Buaya Learisa yang sedang dalam keadaan hamil tua. Tetapi, demi membela rekan-rekannya di pulau Seram, berangkat jugalah sang "Raja Learisa Kayeli" ke Tanjung Sial. Perkelahian sengit pun tak terhindarkan.
Ular besar itu akhirnya berhasil dibunuh, namun Buaya Learisa juga terluka parah. Sebagai hadiah, buaya-buaya Seram memberikan ikan-ikan lompa, make dan parang parang kepada Buaya Learisa untuk makanan bayinya jika lahir kelak.
Maka pulanglah Buaya Learisa Kayeli ke Haruku dengan menyusur pantai Liang dan Wai. Setibanya di pantai Wai, Buaya Learisa tak dapat lagi melanjutkan perjalanan karena lukanya semakin parah. Dia terdampar disana dan penduduk setempat memukulnya beramai-ramai, namun tetap saja buaya itu tidak mati. Sang buaya lalu berkata kepada para pemukulnya: "Ambil saja sapu lidi dan tusukkan pada pusar saya". Penduduk Wai mengikuti saran itu dan menusuk pusar sang buaya dengan sapu lidi. Dan, mati lah sang "Raja Learisa Kayeli" itu.
Tetapi, sebelum menghembuskan nafas akhir, sang buaya masih sempat melahirkan anaknya. Anaknya inilah yang kemudian pulang ke Haruku dengan menyusur pantai Tulehu dan malahan kesasar sampai ke pantai Passo, dengan membawa semua hadiah ikan-ikan dari buaya-buaya Seram tadi. Karena lama mencari jalan pulang ke Haruku, maka ikan parangparang tertinggal di Passo, sementara ikan lompa dan make kembali bersamanya ke Haruku. Demikianlah, sehingga ikan lompa dan make (Sardinilla sp) merupakan hasil laut tahunan di Haruku, sementara ikan parang parang merupakan hasil ikan terbesar di Passo.
  • Pelaksanaan dan Peraturan Sasi Lompa
Bibit atau benih (nener ikan lompa biasanya mulai terlihat secara berkelompok dipesisir pantai Haruku antara bulan April sampai Mei. Pada saat inilah, sasi lompa dinyatakan mulai berlaku (tutup sasi). Biasanya, pada usia kira-kira sebulan sampai dua bulan setelah terlihat pertama kali, gerombolan anak-anak ikan itu mulai mencari muara untuk masuk ke dalam kali.
Hal-hal yang dilakukan Kewang sebagai pelaksana sasi ialah memancangkan tanda sasi dalam bentuk tonggak kayu yang ujungnya dililit dengan daun kelapa muda (janur). Tanda ini berarti bahwa semua peraturan sasi ikan lompa sudah mulai diberlakukan sejak saat itu, antara lain:
  1. Ikan-ikan lompa, pada saat berada dalam kawasan lokasi sasi, tidak boleh ditangkap atau diganggu dengan alat dan cara apapun juga.
  2. Motor laut tidak boleh masuk ke dalam kali Learisa Kayeli dengan mempergunakan atau menghidupkan mesinnya.
  3. Barang-barang dapur tidak boleh lagi dicuci di kali.
  4. Sampah tidak boleh dibuang ke dalam kali, tetapi pada jarak sekitar 4 meter dari tepian kali pada tempat-tempatyang telah ditentukan oleh Kewang.
  5. Bila membutuhkan umpan untuk memancing, ikan lompa hanya boleh ditangkap dengan kail, tetapi tetap tidak boleh dilakukan di dalam kali.
Bagi anggota masyarakat yang melanggar peraturan ini akan dikenakan sanksi atau hukuman sesuai ketetapan dalam peraturan sasi, yakni berupa denda. Adapun untuk anak-anak yang melakukan pelanggaran, akan dikenakan hukuman dipukul dengan rotan sebanyak 5 kali yang menandakan bahwa anak itu harus memikul beban amanat dari lima soa (marga besar) yang ada di Haruku.

  • Upacara Sasi Lompa
Pada saat mulai memberlakukan masa sasi (tutup sasi), dilaksanakan upacara yang disebut panas sasi. Upacara ini dilakukan tiga kali dalam setahun, dimulai sejak benih ikan lompa sudah mulai terlihat. Upacara panas sasi biasanya dilaksanakan pada malam hari, sekitar jam 20.00. Acara dimulai pada saat semua anggota Kewang telah berkumpul di rumah Kepala Kewang dengan membawa daun kelapa kering (lobe) untuk membuat api unggun. Setelah melakukan doa bersama, api induk dibakar dan rombongan Kewang menuju lokasi pusat sasi (Batu Kewang) membawa api induk tadi. Di pusat lokasi sasi, Kepala Kewang membakar api unggun, diiringi pemukulan tetabuhan (tifa) bertalu-talu secara khas yang menandakan adanya lima soa (marga) di desa Haruku. Pada saat irama tifa menghilang, disambut dengan teriakan Sirewei (ucapan tekad, janji, sumpah) semua anggota Kewang secara gemuruh dan serempak. Kepala Kewang kemudian menyampaikan Kapata (wejangan) untuk menghormati desa dan para datuk serta menyatakan bahwa mulai saat itu, di laut maupun di darat, sasi mulai diberlakukan (ditutup) seperti biasanya. Sekretaris Kewang bertugas membacakan semua peraturan sasi lompa dan sanksinya agar tetap hidup dalam ingatan semua warga desa. Upacara ini dilakukan pada setiap simpang jalan dimana tabaos (titah, maklumat) biasanya diumumkan kepada seluruh warga dan baru selesai pada pukul 22.00 malam di depan baileo (Balai Desa) dimana sisa lobe yang tidak terbakar harus di buang ke dalam laut.
  • Pemasangan Tanda Sasi Lompa
Setelah selesai upacara panas sasi, dilanjutkan dengan pemancangan tanda sasi. Tanda sasi ini biasanya disebut kayu buah sasi, terdiri dari kayu buah sasi mai (induk) dan kayu buah sasi pembantu. Kayu ini terbuat dari tonggak yang ujungnya dililit dengan daun tunas kelapa (janur) dan dipancangkan pada tempat-tempat tertentu untuk menentukan luasnya daerah sasi.
Menurut ketentuannya, yang berhak mengambil kayu buah sasi mai dari hutan adalah Kepala Kewang Darat untuk kemudian dipancangkan di darat. Adapun Kepala Kewang Laut mengambil kayu buah sasi laut atau disebut juga kayu buah sasi anak (belo), yakni kayu tongke (sejenis bakau) dari dekat pantai, kemudian dililit dengan daun keker (sejenis tumbuhan pantai juga) untuk dipancangkan di laut sebagai tanda sasi. Luas daerah sasi ikan lompa di laut adalah 600 x 200 meter, sedang di darat (kali) adalah 1.500 x 40 meter mulai dari ujung muara ke arah hulu sungai (lihat Peta Daerah Sasi Ikan Lompa Haruku).

  • Buka Sasi Lompa
Setelah ikan lompa yang dilindungi cukup besar dan siap untuk dipanen (sekitar 5-7 bulan setelah terlihat pertama kali), Kewang dalam rapat rutin seminggu sekali pada hari Jumat malam menentukan waktu untuk buka sasi (pernyataan berakhirnya masa sasi). Keputusan tentang "hari-H" ini dilaporkan kepada Raja Kepala Desa untuk segera diumumkan kepada seluruh warga.
Upacara (panas sasi) yang kedua pun dilaksanakan, sama seperti panas sasi pertama pada saat tutup sasi dimulai. Setelah upacara, pada jam 03.00 dinihari, Kewang melanjutkan tugasnya dengan makan bersama dan kemudian membakar api unggun di muara kali Learisa Kayeli dengan tujuan untuk memancing ikan ikan lompa lebih dini masuk ke dalam kali sesuai dengan perhitungan pasang air laut. Biasanya, tidak lama kemudian, gerombolan ikan lompa pun segera berbondong-bondong masuk ke dalam kali. Pada saat itu, masyarakat sudah siap memasang bentangan di muara agar pada saat air surut ikan-ikan itu tidak dapat lagi keluar ke laut.

Tepat pada saat air mulai surut, pemukulan tifa pertama dilakukan sebagai tanda bagi para warga, tua-muda, kecil-besar, semuanya bersiap-siap menuju ke kali. Tifa kedua dibunyikan sebagai tanda semua warga segera menuju ke kali. Tifa ketiga kemudian menyusul ditabuh sebagai tanda bahwa Raja, para Saniri Negeri, juga Pendeta, sudah menuju ke kali dan masyarakat harus mengambil tempatnya masing-masing di tepi kali. Rombongan Kepala Desa tiba di kali dan segera melakukan penebaran jala pertama, disusul oleh Pendeta dan barulah kemudian semua warga masyarakat bebas menangkap ikan-ikan lompa yang ada.

Perusakan lingkungan (habitat) terumbu karang di pantai Haruku oleh pemboman liar pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab tetap berlangsung sampai saat ini. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat (melalui Kewang) untuk mencegah semakin meluasnya perusakan tersebut, bahkan sampai ke tingkat memperkarakannya di pengadilan dan kepolisian. Namun, semua upaya itu nyaris buntu semua, seringkali hanya karena penduduk Haruku adalah rakyat kecil yang sederhana dan awam yang tidak memiliki saluran ke pusat-pusat kekuasaan yang berwenang. Dalam keadaan nyaris putus asa dan bingung, seringkali rakyat Haruku merasa bahwa bahkan Hadiah Kalpataru 1985 bagi mereka, lengkap dengan tugu peringatannya di depan Balai Desa Haruku, sama sekali tidak bermakna apa-apa untuk mencegah para perusak lingkungan tersebut.

Sumber : http://www.kewang-haruku.org

Entri Populer